Siang itu cuaca di Pondok Pesantren Darussalam, Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat cukup cerah. Semilir angin sepoi-sepoi muncul dari arah bebukitan yang berdiri kokoh di belakang area pergedungan pesantren. Hamparan sawah terpampang di depan pesantren yang berdiri di atas lahan wakaf seluas 21.000 m2.
Silaturahim saya ke Darussalam Tasikmalaya dalam rangka menjalin sinergi antar FORBIS dengan pondok-pondok alumni Gontor dalam rangka pemetaan potensi ekonomi pesantren dan diskusi apa yg bisa dilakukan kedepan.
Tiga jam perjalanan dari Bandung menuju Pesantren Darussalam, Rajapolah, Tasikmalaya, terobati lelahnya dengan suasana keindahan alam anugerah Sang Pencipta.
Seorang pria berperawakan tinggi besar dengan wajah ganteng terlihat cukup sibuk menyambut kedatangan kami. Terpancar dari wajahnya air muka penuh rona bahagia seperti menyambut saudara sekandung yang telah lama tak jumpa.
Dialah KH. Ahmad Deni Rustandi, selaku Pimpinan Pondok, beliau menyambut langsung kedatangan kami dengan hangat bersama dengan beberapa guru senior. Kesan pertama kali berinteraksi dengan Kiai Deni sangat jelas, beliau ini Kiai muda.
Pembawaan gesturnya energik dan supel. Someah khas orang sunda dengan tutur kata dan gestur tubuhnya yang selalu menaruh hormat kepada siapapun. Apalagi seniornya. Saya dan Kiai Deni hanya terpaut beberapa tahun angkatan lulus di Pondok Modern Gontor. Saya lulusan angkatan 92, Kiai Deni lulusan angkatan 98.
Kami lalu diajak masuk ke ruang terima tamu, sekaligus kantor Kiai Deni yang terlihat sederhana untuk ukuran seorang Kiai pesantren dengan jumlah ribuan santri. Tak ada yang istimewa di ruangan ini kecuali foto-foto kegiatan pondok yang melibatkan berbagai tokoh maupun ulama, baik lokal dan nasional. Foto-foto tersebut terpajang berderet rapi di dinding ruang tamu.
Tempat terima tamu ini sekaligus menggambarkan rumah tempat tinggal Kiai Deni bersama keluarga. Sebagai Pimpinan Pesantren, Kiai Deni tinggal di salah satu ruangan darurat yang menyatu dengan kamar santri, bersama kelima anaknya.
Diketahui, ternyata Kiai Deni sedang menjalankan sebuah amanah dari Maha Gurunya, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi (Allahu Yarham) yang cukup berat. Darussalam Tasikmalaya berdiri pada tahun 2007. Sebagai pimpinan pondok, Kiai Deni tidak diperkenankan membangun rumah, kecuali setelah 15 tahun pondoknya berdiri. Itulah titah dari sang Kiai yang tanpa ditawar se-sen pun dan hingga kini masih dijalani Kiai Deni!
Kami ngobrol di ruang tamu tersebut dengan kursi dan meja yang sengaja ditata sedemikian rupa. Tampak sekali dari penataan ruangan tamu, tuan rumah sangat ahlan wa sahlan dengan siapapuan yang datang silaturrahmi. Meja-meja di hadapan tamu penuh dengan makanan ringan dan buah-buahan, beginilah khas para Kiai yang mengamalkan ajaran nabi Muhammad SAW tentang “Ikromu Duyuf”.
Tiba saatnya makan siang, kami dipersilahkan makan bersama dengan hidangan sayur lodeh. Soal rasa jangan tanya, gurih dan maksyus banget. Sayur lodeh khas pesantren, yang ternyata juga menu makan santri hari itu. Kiai Deni ketahuan lagi sedang mengaplikasikan ajaran Kiai Gontor, “apa yang dimakan santri itu juga yang dimakan Kiai”.
Khas Gontory ala Darussalam Tasikmalaya sangat terasa di Pesantren Pimpinan Kiai Muda satu ini. Ajaran dan nilai Gontor, kesederhanaan dan ukhuwah Islamiyah dipraktekkan dengan sangat epik oleh Kiai Deni.
Lalu, Apa yang membuat Kiai Muda satu ini begitu lekat dengan nilai Gontory dan mampu mempraktekkannya? Mari kita telisik latar belakang Kiai Deni selama digembleng di titik pusat poros Kampung Damai yang terletak ratusan kilometer dari Tasikmalaya tepatnya di Ponorogo.
Selepas mengenyam Pendidikan KMI di Gontor, Kiai Deni mendapat keistimewaan berupa amanah dari Kiai Gontor yakni mengabdi sebagai guru di Gontor dengan pos pengabdian yang juga istimewa sebagai staff Pengasuhan Santri.
Mengemban amanah sebagai guru di staff Bagian Pengasuhan Pondok Modern Gontor tidaklah mudah. Bagian ini yang menjadi penggerak seluruh kegiatan santri selama 24 jam. Bagi santri Gontor, panggilan dari bagian Pengasuhan Santri adalah panggilan yang paling ditakuti. Sanksi disiplin sudah siap menanti.
Bagian Pengasuhan Santri adalah bagian perpanjangan tangan yang langsung disupervisi oleh Pimpinan Gontor. Bagian ini mengurus roda gerak kehidupan santri termasuk manajerial kegiatan di luar kelas hingga manajerial kehidupan guru-guru di Gontor. Tugas ini dijalani Kiai Deni dalam kurun waktu 4-5 tahun hingga dirinya menyelesaikan jenjang pendidikan perguruan tinggi S1 Gontor di ISID (sekarang UNIDA)
Pengalaman Kiai Deni yang tak sebentar di staff Pengasuhan Santri membuatnya tertempa semakin matang. Ketika sekarang dirinya memimpin pondok terpancar ketegasan dan kharisma darinya yang tersembunyi dibalik kelembutan kata dan keramahannya.
Hal termahal dari penugasan di Pengasuhan Santri adalah soal kedetakatan Kiai Deni dengan para Kiai Pimpinan Pondok Gontor. Guru Pengasuhan Santri sebagaimana diketahui setiap saat menerima instruksi atau melaporkan berbagai kegiatan kepada KH Abdullah Syukri Zarkasyi (alm), KH Hasan Abdullah Sahal maupun KH Syamsul Hadi Abdan (alm). Kedekatan struktural ini juga diiringi kedekatan personal dengan keluarga, terutama selepas dari purna tugasnya di Gontor.
Maka sangat wajar bila kini Kiai Gontor terlihat sering sekali menyambangi Pesantren Darussalaman Tasikmalaya ini. Saya merasakan kalau pondok ini punya tempat yang istimewa di hati para Kiai Pimpinan Gontor. Lalu apa yang membuatnya istimewa? Saya coba menebak-nebak, karena tidak berani menanyakan langsung.
Pertama, selalu menjaga silaturahim. Silaturahim tanpa pamrih. Silaturahim yang dibangun atas dasar rasa hormat dan takzim seorang santri kepada guru dan Kiainya. Silaturahim ini terus dijaga, terlebih ketika Kiai Deni mulai merintis pondok dengan menjadikan kandang ayam di tanah milik orangtuanya sebagai asrama dan kelas untuk belajar.
Kedua, selalu meminta arahan dan nasehat kepada para guru dan Kiai. Sejak awal mulai punya niat mendirikan pondok, Kiai Deni selalu meminta bimbingan dan arahan. Tidak jarang bolak balik Tasikmalaya – Gontor dalam waktu yang sering, hanya untuk meminta nasehat terhadap suatu hal yang akan dilakukan. Semua nasehat dan arahan tersebut dipegang teguh dan dijalankan tanpa ragu. Sami’na Wa Ato’na.
Ketiga, selalu melaporkan segala perkembangan pondok, termasuk juga laporan kondisi keuangan. Walaupun bukan pondok cabang, tapi Kiai Deni rutin menghadap pimpinan pondok di Gontor untuk melaporkan perkembangan pondok. Hal ini dimaksudkan agar mendapatkan arahan, bimbingan dan koreksi terhadap jalannya pondok.
Keempat, Kiai Deni mempunyai seorang istri yang sangat ramah dan hangat menyapa setiap tamu yang datang, termasuk kepada keluarga gontor. Semua mengakui dan merasakan hal tersebut. Bahkan Bu Nyai Syukri Zarkasyi menuturkan “sampai saat ini kami belum bisa menemukan orang seperti anak ku, Nunung. Ia lembut, keibuan, santun, cantik, pintar, hafidzoh. Ia menanti idaman, sosok ibu nyai yang sempurna. Apa daya Allah lebih mencintaimu”.
Ya, beberapa bulan lalu, Kiai Deni mendapat ujian dari Allah SWT kehilangan istri tercintanya sekaligus pendamping dalam perjuangan di pondok. Ujian ini tentunya dimaknai sebagai hamba Allah yang akan selalu diuji untuk dinaikkan derajatnya. Keyakinan saya menyatakan, Allah memberikan ujian kepada Kiai Deni karena yang diuji dinilai mampu menghadapinya.
Begitulah perjalanan hidup Kiai Deni yang tentunya masih akan panjang ke depan. Kisah hidup yang hanya dilihat dan tampak dari sisi dhohirnya saja.
Namun Secara bathin yang tidak tampak, saya meyakini Kiai Muda se-kaliber Kiai Deni juga sedang menjalani tirakat riyadhoh bathiniyah, mujahadah, dalam rangka memohon dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagaimana yang telah dicontohkan para Masayikh Kiai Gontor.
Riyadhoh bathiniyah para Kiai ini tak tampak oleh indera penglihatan namun kita rasakan manfaatnya berupa berbagai kemudahan sebagai santri sekaligus anak ideologis Pondok Modern Gontor yang berkahnya melimpah ruah hingga menembus batas ruang dan waktu.