Perjalanan Wakaf di Indonesia

Perjalanan Wakaf di Indonesia

Dimensi Wakaf dalam Pandangan Spiritual dan Sosial

Wakaf telah menjadi instrumen penting bagi pembangunan ekonomi di Indonesia karena didalamnya terdapat unsur filantropi yang dapat menggugah cinta kasih dan kepedulian kepada sesama. Namun dalam perjalanan wakaf di indonesia mengalami beberapa fase penting  hingga dapat diadopsi secara oleh sistem dan diakui hukum Indonesia. Wakaf di samping sebagai salah satu aspek ajaran Islam berdimensi spiritual namun juga dapat dimplementasikan dalam dimensi sosial (kesejahteraan), hal ini menunjukan bahwa perjalanan wakaf dapat memberikan keseimbangan antara dunia dan akhirat melalui bases konsep ta’awun (Itang, 2017).

Perlu diketahui, istilah wakaf tidak terwujud pada zaman Rasulullah SAW karena pada masa tersebut wakaf lebih dikenali sebagai amalan bersedekah secara sukarela dan idak terbagi kepada khayri maupun zurri (Mohd Zaidi Daud, 2023; Muhazir, 2020). Implementai wakaf di Indonesia sesuai dengan firman Allah SWT pada saat Rasululla SAW mewakafkan masjid Quba dibangun pada tahun 622, yang berjarak sekitar 400 KM dari utara Kota Makkah:

لَا تَقُمۡ فِيهِ أَبَدٗاۚ لَّمَسۡجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقۡوَىٰ مِنۡ أَوَّلِ يَوۡمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِۚ فِيهِ رِجَالٞ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُواْۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُطَّهِّرِينَ  ١٠٨

108.  Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih (Q.S At-Taubah: 108).

Enam bulan kemudian Rasulullah SAW mewakafkan tujuh kebun kurma di Madinah yang dibeli dari dua anak yatim Bani Najjar bernama Sahal dan Suhail asihan A’sad bin Zurarah senilai 800 dirham. Ditanah inilah dibangun Masjid Nabawi (Nazmi & Juliati, 2024; Setyorini, 2022) .

Proses Wakaf di Indonesia dari Era ke Era

Wakaf telah dikenal lama di Indonesia bahkan sejak sebelum masa kemerdekaan lebih tepatnya sejak Islam mulai masuk ke wilayah Indonesia pada akhir abad ke-12 M, hingga kini dibuatnya ketentuan khusus yang berlaku untuk wakaf yang dapat mendukung ekosistem wakaf yang lebih baik (Jamilullah, 2023). Tentu saja perjalanan wakaf di Indonesia sangat berkaitan erat dengan lingkungan sosial dan adat Indonesia, perjalanan wakaf di Indonesia terbagi dalam 3 periode:

Masa Kerajaan Islam (Kesultanan)

Berbagai bukti empiris sudah menunjukan eksistensi wakaf telah diajarkan sejak dahulu oleh para raja-raja Islam di Seluruh Indonesia. Pada masa ini banyak dari para Sultan yang mewakafkan harta pribadinya untuk berbagai keperluan seperti: Ibadah, Pendidikan, Komplek Makam, Tanah basah ataupun kering yang ditemukan hampir di seluruh Indonesia khususnya wilayah yang dipimpin oleh Bupatinya yang beragama Islam. Diantaranya seperti:

  1. Masjid Al Falah Jambi berasal dari Sultan Thah Saifuddin.
  2. Masjid Kauman Cirebon atau lebih dikenal Masjid Sang Cipta Rasa dari Sunan Gunung Jati.
  1. Masjid Agung Kauman Solo dari Susuhunan Paku Buwono X.
  2. Masjid Agung Banten dan madrasah di sekitarnya mendapat tanah wakaf dari Maulana Hasanudin, Maulana Yusuf, Maulana Pangeran Mas, dan Hartawan Muslim yang luasnya ratusan hektar.
  3. Masjid Agung Demak dan pesantrennya dibiayai dari hasil tanah wakaf sawah seluas kurang leboh 350 hektar Wakaf dari Raden Fatah.
  4. Masjid Agung Semarang dibiayai dengan tanah wakaf Bupati Semarang Pertama yakni Pangeran Samber Nyawa Seluas kurang lebih 19 hektar.

Peraturan wakaf telah ada sejak zaman kesultanan di tanah jawa, seperti yang telah diatur pada Staatblad No. 605, jo. Besluit Governmen General Van Ned Indie ddp. 12 Agustus 1896 No. 43, jo ddo. 6 November 1912. No. 22 (Bijblad 7760), bahwa masjid masjid di Semarang, Kendal, Kaliwungu dan Demak memiliki tanah sawah bondo masjid (5% Mosekeembtsvendem) sebagai food untuk membiayai pemeliharaan dan seluruh biaya operasional perbaikan masjid, halaman dan makam keramat dari wali yang ada diingkungan masid-masjid tersebut. Hal tersebut menunjukkan pada jaman kesultanan telah ada peraturan harta wakaf sekalipun dalam hal yang masih terbatas. Pada masa ini Perjalanan Wakaf di Indonesia mulai dikenal luas oleh kalangan masyarakat.

BACA JUGA : Unsur-Unsur Wakaf

Masa Kolonial

Menurut Abdul Rasyid , wakaf telah memiliki posisi penting dalam pemerintahan kala itu agar lebih tertib hingga mereka mengeluarkan berbagai peraturan yang mengatur tentang persoalan wakaf.

Pertama, pada tahun 1905 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan surat Edaran No. 435 melalui Sekretaris Gubernur, termuat dalam Bijblad 1905 No. 6196 tentang Toezicht op den houw van Mohammedaansche bedehuizen (Pengawasan Rumah Ibadah Umat Islam). Surat Edaran ini mengatur perwakafan tanah termasuk masjid dan rumah-rumah ibadah lainnya. Surat edaran ini juga memerintahkan kepada bupati untuk membuat list rumah ibadah umat islam yang berada di wilayah mereka masing-masing. Namun pada pelaksanaan peraturan ini menimbulkan aksi-reaksi dari berbagai unsur pergerakan umat Islam, karena dinilai campur tangan Pemerintah kala itu terhadap urusan-urusan yang menyangkut agama Islam dibatasi. Maka, Pemerintah Kolonial kemudian mengeluarkan surat edaran selanjutnya untuk merubah sedikit maksud dari apa yang terkandung pada Surat Edaran yang Pertama.

Kedua pada tahun 1931, dikeluarkan Surat Edaran No. 1361/A yang termuat dalam Bijblad 1931 No. 12573, tentang Toizich van de Regeering of Muhammedan schebedehuizen, Vrijdagdienstten en Wakaf (Pengawasan Pemerintah terhadap Rumah Ibadah Umat Islam, Pelayanan Makanan Jum’at dan Wakaf). Yang bermakud untuk melakukan pengajuan izin kepada Bupati bagi siapa saja yang ingin berwakaf.

Ketiga, pada 24 Desember 1934 No. 3088/A sebagaimana Bijblad tahun 1934 No. 13390 tentang Toezicht Van de Regeering op Mohammedaansche bedehuizen, Verijdogdiesten en wakaf, berisi aturan baru yang diatur dalam surat edaran ini yaitu setiap perwakafan harus diberitahukan kepada bupati agar dapa dipertimbangkan atau meneliti peraturan umum atau peraturan tempat yang dilanggar agar Bupati dapat mendaftarkan wakaf tersebut dalam daftar yang tersedia. Kemudian Ketiga surat edaran itu kemudian disusul dengan surat edaran Sekretaris Gubernur tanggal 27 Mei 1935 No.1273/A, sebagaimana yang termuat dalam Bijblad 1935 No.13480 tentang Teozijh Vande Regeering Muhammedaansche bedehuizen en Wakafs. Dalam surat edaran ini diberikan beberapa penegasan tentang prosedur perwakafan di samping itu dalam surat edaran ini juga disebutkan bahwa setiap perwakafan harus diberitahukam kepada Bupati dengan maksud supaya Bupati dapat mempertimbangkan atau meneliti peraturan umum atau peraturan tempat yang dilanggar agar Bupati dapat mendaftarkan wakaf itu di dalam daftar yang disediakan untuk itu (Faisal, 2021).

Pasca Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan, peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintahan Kolonial menyangkut masalah wakaf beberapa tetap berlaku. Hal ini berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (Huda, 2015). Selama belum diadakan atau peraturan perundang-undangan yang baru, maka badan negara ataupun peraturan yang lama masih tetap dipakai atau berlaku sampai pemerintah mengeluarkan peraturan-perundangan yang baru. Dengan demikian Surat Edaran Sekretaris Governemen tetap berlaku, namun tetap saja karena wakaf belum diatur secara apik dalam bentuk perundang-undangan dan memang wakaf berasal dari hukum Islam dalam hal fiqh Islam. Kini telah dibuat peraturan yang berlaku seperti yang dimuat dalam buku Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perwakafan Tanah yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI, maka dalam uraian ini dikemukakan aturan sebagai berikut:

  1. UU No 15 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasa; 49 ayat (1) “Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah;
  2. PP No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah Karena Peraturan ini berlaku umum, maka terdapat juga didalamnya mengenai pendaftaran tanah wakaf;
  3. Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 tentang Permintaan dan Pemberian Izin pemindahan Hak Atas Tanah. Dikeluarkan pada 23 September 1961;
  4. Dan lain sebagainya.

Seluruh Undang-Undang yang dibuat setelah kemerdekaan hampir seluruhnya membahas tentang wakaf tanah dan peraturan yang berlaku kepadanya. Hal ini disebabkan, masyarakat secara luas hanya mengenal wakaf tanah. Namun setelah adanya wakaf yang berbentuk tunai maka dibentuklah perundangan-undangan Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf tunai, masyarakat telah mengenal bahwa wakaf tidak hanya tanah, tetapi wakaf dapat berbentuk uang. Perbincangan tentang wakaf sejak awal memang diarahkan pada wakaf benda bergerak dan tidak bergerak pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur untuk diambil airnya. Sedangkan wakaf benda bergerak yang kini sudah menjadi perbincangan dengan sebutan Cash Waqf. Perjalanan wakaf di Indonesia kini

Referensi Pokok

Faisal, A. (2021). PERKEMBANGAN WAKAF DI INDONESIA (POSTIVISASI HUKUM WAKAF). Jurnal Ekonomi Syariah, 01, 1–7.

Huda, M. (2015). Mengalirkan manfaat wakaf : potret perkembangan hukum dan tata kelola wakaf di Indonesia. 419.

Itang, S. I. (2017). SEJARAH WAKAF DI INDONESIA.

Jamilullah. (2023). Perkembangan Wakaf di Indonesia. Jurnal Ekonomi Syariah, 1(2), 208–218.

Mohd Zaidi Daud, D. (2023). Pembangunan Tamadun melalui Wakaf Keluarga: Analisis dari Perspektif Sejarah Islam. Journal of Al-Tamaddun, 18(2), 71–86.

Muhazir, M. (2020). ASPEK HUKUM WAKAF DALAM KAJIAN HADIS AHKAM (Melacak Akar Sejarah Hukum Wakaf Dan Penerapannya di Indonesia). TAQNIN: Jurnal Syariah Dan Hukum, 2(02), 137–144. https://doi.org/10.30821/taqnin.v2i02.8403

Nazmi, L., & Juliati, Y. S. (2024). Sejarah dan perkembangan syariah dalam islam. CEMERLANG: Jurnal Manajemen Dan Ekonomi Bisnis, 4(2). https://doi.org/https://doi.org/10.61132/menawan.v2i2.227

Setyorini, S. (2022). Sejarah Wakaf Dalam Islam Dan Perkembangannya. Osf.Io, 1(1).