Dr. KH. Fahruroji, Lc, MA
Pimpinan Ponpes Darul Ummah Tangerang
Harta dalam Bahasa Arab disebut al-Maal yang secara Bahasa artinya condong atau cenderung. Menurut Al Isfahani harta dikatakan maal karena selamanya cenderung kepadanya dan akan hilang. Yusuf Al-Qhardawi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan harta adalah segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Definisi yang lebih lengkap tentang harta disampaikan oleh Mustafa Azzarqa yaitu segala sesuatu yang konkrit bersifat material yang mempunyai nilai dalam pandangan manusia. Definisi yang lebih rinci lagi menurut ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa harta adalah segala yang dapat dimiliki dan digunakan menurut kebiasaan seperti tanah, binatang, barang-barang perlengkapan, dan juga uang.
Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa harta adalah segala sesuatu yang dimiliki berupa materiil dan dapat digunakan dalam menunjang kehidupan seperti tempat tinggal, kendaraan, barang-barang perlengkapan, emas, perak, tanah, binatang, uang, atau sesuatu yang mempunyai nilai dalam pandangan manusia.
Setiap manusia ingin memiliki harta dan menyimpannya untuk digunakan dalam menunjang kehidupan. Namun demikian, seorang muslim yang sudah memiliki harta, harus menyadari bahwa pemilik harta secara mutlak adalah Allah SWT. Ungkapan mulkus samawati wal ardh dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 18 kali yang tersebar dalam berbagai surah, semuanya memberikan informasi dan ketegasan bahwa pemilik mutlak apa yang ada di alam semesta ini hanya Allah SWT. Kepemilikan harta oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Dalam pandangan Islam, harta merupakan titipan dan amanah. Maksudnya sekalipun harta merupakan milik dan ciptaan Allah, tetapi Allah memberi mandat dan kekuasaan kepada manusia untuk menggunakan dan memanfaatkan sebagai titipan dan amanah, sekaligus mendistribusikan harta yang diperoleh kepada yang berhak, seperti tercermin dalam firman-Nya surah Al-Hadid ayat 7:
اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَاَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَاَنْفَقُوْا لَهُمْ اَجْرٌ كَبِيْرٌ
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar.”
Kata mustakhlafina pada ayat tersebut menurut az-Zamakhsyari menyatakan bahwa harta yang ada pada tangan kamu sekalian adalah harta Allah yang diciptakan dan dikembangkan-Nya untuk kalian. Allah memberikan harta tersebut dan mengizinkan untuk kamu nikmati. Allah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah yang mampu mengelola harta. Karena itu, harta bukanlah milik kalian. Posisi kalian dari harta tersebut hanyalah sebagai “wakil dan pemegang amanat”. Karenanya, infakkanlah harta itu pada hak-hak Allah. Ringankanlah tanganmu untuk menginfakkannya sebagaimana seseorang menginfakkan harta orang lain dengan ringan.
Dengan memahami hakikat kepemilikan harta dan didorong oleh keimanan serta pahala yang berlipat ganda, seorang muslim akan mendistribusikan atau memberikan sebagaian hartanya kepada fakir miskin dan yang membutuhkan. Di antara saluran pendistribusian harta untuk amal kebajikan yang memiliki keutamaan yang besar adalah wakaf. Meskipun wakaf dihukumi sunnah namun dianggap sebagai instrumen penting dan menjadi sumber keuangan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan umat. Lalu, apa yang dimaksud dengan wakaf?
Wakaf adalah menahan pokok harta dan menyalurkan manfaatnya. Yang dimaksud dengan pokok harta adalah apa yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, seperti tanah, rumah, toko, sawah, dan yang semisalnya. Yang dimaksud dengan manfaat adalah hasil yang diperoleh dari pokok harta seperti buah, uang sewa, tempat tinggal, dan yang semisalnya.
Wakaf memiliki keutamaa yag besar berdasarkan hadis Raulullah SAW:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثَةٍ : إِلا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah jariyah, (2) ilmu yang diambil manfaatnya, (3) anak shalih yang selalu mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim, no. 1631).
Para ulama di antaranya Imam An Nawawi menafsirkan secara khusus sedekah jariyah dengan wakaf karena sedekah jariyah pahalanya tidak putus, dan hal itu tidak mungkin terjadi kecuali dengan menahannya, dan menahan berarti wakaf. Menurut Imam An Nawawi hadis tersebut sebagai dalil tentang wakaf dan pahalanya yang besar.
Hadis di atas tidak menyebutkan objek dari sedekah jariyah atau wakaf sehingga harta apa saja yang bermanfaat dan memiliki daya tahan lama atau manfaat jangka P
panjang dapat diwakafkan. Namun demikian, beberapa objek wakaf dapat diketahui dari praktik Rasulullah dan para sahabat seperti tanah, rumah, kebun, sumur, mata air, kuda, baju perang, senjata.
Sebagai contoh Rasulullah SAW mewakafkan kebun kurma, Abu Bakar ra mewakafkan rumahnya di Mekah, Umar bin Khatttab ra mewakafkan tanahnya di Khaibar, Utsman bin Affan ra mewakafkan sumur ruumah, Ali bin Abi Thalib ra mewakafkan tanah di Yanbu.
Harta yang diwakafkan oleh Rasulullah dan para sahabat merupakan harta benda yang bernilai tinggi bahkan ada yang belum pernah dimiliki karena nilianya yang tinggi seperti tanah milik Umar bin Khattab di Khaibar. Namun para sahabat yang memiliki harta yang bernilai tinggi mewakafkannya di jalan Allah. Lantas apa yang mendorong Rasulullah dan para sahabat mewakafkan harta yang bernilai tinggi?
Tentu saja dorongan keimanan, pahala yang besar dan berlipat ganda, menjadi sebab mewakafkan harta yang bernilai tinggi, ditambah keutamaan wakaf yang manfaatnya dan pahalanya berkelanjutan.
Sebab lainnya adalah pemahaman dan penyikapan yang benar tentang harta. Bahwa harta yang dimiliki harus memberi manfaat bagi pemiliknya dan orang lain, bahkan manfaatnya harus berkelanjutan tidak hanya di dunia ini tapi sampai dengan akhirat atau setelah kematian. Harta yang dimiliki harus menjadi penolong atau menjadi wasilah untuk mendapatkan keuntungan serta kenikmatan yang lebih besar dari pada keuntungan dan kenikmatan dunia, harta yang dimiliki digunakan untuk membangun kehidupan akhirat yang lebih baik dan kekal.
Pemahaman dan penyikapan yang salah tentang harta akan menyebabkan orang menjadi pelit, enggan untuk berbagi dengan orang lain, harta yang dimilikinya hanya digunakan untuk menunjang kehidupan di dunia saja, tidak untuk menunjang kehidupannya di akhirat. Tentu saja ini kerugian besar karena sebagai pemilik harta tidak mendapatkan manfaat atau keuntungan dari harta miliknya untuk kehidupan akhiratnya. Oleh karena itu, supaya pemilik harta terus beruntung dan mendapat manfaat dari hartanya, harus ada harta miliknya yang diwakafkan sehingga dengan wakaf tersebut seolah-olah ia memiliki harta selamanya dan pahala selamanya.
Kepemilikan harta terkait dengan kemampuan untuk memanfaatkan harta tersebut, maka siapa pun yang telah mewakafkan hartanya sesungguhnya harta wakaf itu menjadi miliknya selamanya karena ia telah mampu memanfaatkan harta miliknya untuk kepentingannya dan kepentingan orang banyak. Ia atau pewakaf akan mendapat pahala yang terus mengalir atas harta miliknya yang telah diwakafkan dan memberi manfaat yang luas kepada banyak orang seperti untuk masjid, pondok pesantren, kuburan, tempat tinggal, beasiswa, bantuan ekonomi, kesehatan, dan lain-lain.
Harta yang memberikan keuntungan dan manfaat selamanya bagi pemiliknya adalah harta yang diwakafkan. Harta wakaf disukai karena terus menghasilkan keuntungan dan manfaat dengan menahan pokoknya, sehingga menjadi harta yang ditinggalkan pemiliknya yang akan terus dicatat pahalanya. Allah SWT berfirman dalam QS Yasin ayat 12:
اِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتٰى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْۗ وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ فِيْٓ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ ࣖ
“Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh)”.
Universitas Al Azhar di Mesir misalnya, usianya sudah lebih dari 1.081 tahun dan in sya Allah akan terus ada dan bermanfaat sampai akhir zaman. Berapa banyak mahasiswa yang kuliah, tidak hanya warga Mesir namun seluruh warga dunia kuliah di Al Azhar, jumlahnya sudah jutaan, berapa banyak dai-dai yang dikirim oleh Al Azhar ke seluruh dunia, berapa banyak yang shalat di masjid Al Azhar, iktikaf, membaca dan menghafal Al-Qur’an, mengaji kitab-kitab, dan manfaat-manfaat lainnya dari harta wakaf Al Azhar. Tentu saja para pewakafnya mendapat pahala yang terus mengalir dan besar serta berlipat ganda.
Inilah keberkahan wakaf. Berwakaf berarti “memiliki harta selamanya” dan pahala selamanya. Semoga kita menjadi bagian dari orang beruntung yaitu yang mewakafkan harta di jalan Allah. Aamiin
Sebelumnya:
Semua Bisa Wakaf Hanya Dengan Rp. 1.000,-Berikutnya:
Grand Opening REDDG Cabang Gandasari